Minggu, 04 September 2011

UNTUK SUAMIKU TERCINTA

Diposting oleh Muhammad Zainuddin

ZAINOTES. Setahun yang lalu, tanggal 25 Februari 2010, aku mengambil keputusan yang merubah hidupku. Keputusan kecil namun membuat kehidupanku menjadi seperti sekarang.

Hari itu aku bertengkar hebat dengan pacarku dan putus, padahal hal yang kami ributkan sama sekali tidak penting – hanya karena seorang teman facebooknya menulis comment ‘Sayang….’. Saat sedang kesal itu, aku mengiyakan permintaan mama untuk bertemu dengan seorang pria yang belakangan baru aku tahu jika aku dijodohkan dengan dia. Karena masih dalam situasi sedang merana karena putus pacar, mood aku sedang benar-benar buruk dan tanpa berpikir aku mengiyakan saja saat mama menanyakan kesediaan aku dijodohkan dengan pria itu, namanya Aro.

Setelah pertemuan kami yang pertama, Aro dan aku tidak pernah bertemu langsung. Kami berhubungan lewat telepon dan sms, kami lebih sering bertengkar karena memang aku ogah-ogahan menjalin hubungan dengan dia. Ketika ia meminta aku untuk menjadi pacarnya, aku sempat bertanya pada mama dan dijawab “Kalau kamu sudah punya pacar, yah tidak apa-apa. Tetapi kalau tidak punya, kenapa tidak dicoba saja?”, karena itu aku menerima dia menjadi pacar aku.

Semuanya lalu berjalan begitu cepat, akibat jawaban ogah-ogahanku “Terserah kamu saja”. Jawaban itu menjadi dasar keluarganya datang melamar aku secara resmi, jawaban itu juga yang menjadi dasar orang tua aku menerima Aro sebagai calon menantu dan mengatur pertunangan kami. Jawaban itu juga yang membuat aku tidak bisa berkutik ketika Mei 2010, aku harus bertunangan dengan dia.

Sejak hari itu, aku merasa terperangkap. Aku mencari-cari alasan agar kami berpisah, yang karena nama baik keluarga, aku tidak bisa memutuskannya. Harus dia yang memutuskan pertunangan kami. Jika kami berbicara, aku selalu merasa tidak nyambung. Jalan pikiran Aro berbeda 180 derajat dariku, kami terus bertengkar karena hal-hal kecil. Mungkin hal itu juga yang membuat dia akhirnya semakin jarang menghubungiku, kalau pun iya, kami hanya membicarakan hal-hal yang umum. Setiap dia sms atau telepon, yang ditanya hanyalah ‘dimana’, ‘sedang apa’, ‘sama siapa’, ‘sudah makan belum’. Variasinya hanyalah penambahan kata ‘met makan’, ‘met kerja’, ‘met bobo’, atau ‘hati-hati dijalan’.

Hubungan kami benar-benar membuat aku jenuh dan kehilangan alasan untuk mengajak bertengkar. Jika aku mula memancing-mancing persoalan, Aro tidak pernah mengubris. Aku bercerita pada mama, mama hanya berkata “Yang penting bukan kamu yang mengakhiri hubungan kalian”, ingin berbicara dengan papa tetapi aku takut. Aku merasa menemukan jalan buntu, aku tidak konsentrasi melakukan apapun, aku bahkan selingkuh dengan teman sekantor. Aku mulai depresi, aku benci Aro, benci keluarganya, benci orang tuaku, benci pada cincin emas yang diberikan Aro dan aku benci pada diriku sendiri.

Aku takut mencoreng nama baik keluarga besarku, hal itu yang membuat aku bisa bertahan. Aku perlahan membenci Tuhan, karena doaku untuk putus dari Aro tidak juga tampak dikabulkan. Aku mulai meminum obat-obat apa saja yang aku temukan - syukurnya aku tidak menemukan obat-obat terlarang dilingkunganku, aku senang merasa sakit dan mengeluh, aku sering merasa mual, demam, sakit perut, keram dll. Sampai akhirnya aku lelah sendiri, aku meninggalkan selingkuhanku, aku menarik diri dari pergaulan di tempat kerjaku, dan aku tidak lagi peduli dengan diriku sendiri.

Agustus 2010 kami menikah, aku melakukannya dengan tidak rela. Aku sering menyamakan diriku dengan kisah siti nurbaya, atau seperti sinetron-sinetron yang muncul di tv. Aku sering membayangkan diriku melarikan diri, tetapi aku tetap berdiri dipelaminan dan mendengar pujian-pujian tentang bagaimana cantiknya aku.

Setelah menikah, aku cenderung ingin menyakiti perasaan suamiku. Kami tidak ada bulan madu, karena aku memilih untuk ke kantor. Sehari setelah kami menikah, aku sudah masuk kerja walaupun aku diberi ijin libur satu minggu dari atasanku. Aku tidak pernah memasak makanan untuknya, mencuci pakaiannya, atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain yang biasanya dilakukan oleh seorang istri. Aku menganggapnya rendah karena tidak memarahiku, sesekali ia menegur tetapi memilih untuk meninggalkanku jika aku sudah mulai memancing untuk bertengkar. Aku sering mengatainya banci, sama wanita saja tidak berani. Sering aku menolak untuk melakukan hubungan suami-istri, kecuali saat-saat dimana aku terlalu lelah untuk bertengkar, dan esoknya hal itu pasti akan membuatku mengamuk – mengatainya memperkosaku saat aku sedang lelah.

Desember 2010 aku mengetahui jika aku hamil. Aku tidak tahu mengapa aku begitu mencintai kehamilanku, aku menginginkannya walaupun aku membenci suamiku. Aku tidak ingin marah-marah – takut hal itu berpengaruh pada janinku, aku memilih untuk jarang pulang. Aku sering menginap dihotel sendirian dan mengabaikan panggilan telepon dari suamiku, aku tidak mau marah-marah dan untuk itu aku harus menjauhinya.

Mungkin Tuhan sudah bosan dengan kelakuanku yang kekanakan, 22 Februari 2012 yang lalu Ia mengambil bayiku kembali. Aku keguguran, terjadi begitu saja. Aku tidak sedang lelah, aku tidak sedang marah-marah, aku tidak sedang sakit, aku hanya pulang ke rumah setelah beberapa hari tidak pulang untuk mencuci pakaian yang kubawa. Aku sedang memasukkan pakaian ke mesin cuci ketika aku pingsan dan setelah sadar, aku sudah di kamar perawatan. Aro yang memberitahuku jika aku keguguran, dokter belum memberitahukan apa penyebabnya.

Mungkin benar jika setiap orang perlu waktu untuk merenung, dan kamar rumah sakit ini menjadi tempat aku merenung. Aku merenungi kelakuanku sendiri, merenungi penyebab ketidakbahagiaanku, dan yang aku temukan adalah bagaimana Tuhan begitu baik padaku. Aku mungkin tidak akan pernah menikah jika Aro tidak keras kepala ingin menikahiku, aku pecemburu berat sehingga hubunganku tidak pernah bertahan lama. Aku malu dengan keegoisanku sendiri, pria lain aku rasa sudah membuangku sebelum menikah. Pria mana yang tahan punya istri dengan kelakuan begitu buruk tanpa tergoda untuk menghajarnya atau bahkan menceraikannya. Aku malu mengingat hinaan-hinaanku pada suamiku, bahkan ketika aku diam-diam mendengarnya mendoakan kelakuanku.

Tuhan itu baik, dia mendengar keluh-kesah suamiku. Seorang pria yang lebih memilih mengeluarkan uneg-unegnya dalam doa dari pada mengadukanku pada orang tuaku. Aku mendapatkan pria yang sangat sempurna menurut rencana Tuhan untukku, lebih dari deretan sinetron-sinetron yang sering aku tonton, dan Tuhan harus mengambil calon bayiku untuk membuatku sadar. Tadi malam aku memintanya tinggal sebentar untuk berbicara karena biasanya ia akan langsung pergi setelah menjengukku setiap hari. Aku tidak menangis ketika aku meminta maafnya, aku menangis ketika ia duduk diranjangku, menggenggam tanganku dan meminta maaf.

Aku yang bersalah, tetapi suamiku juga meminta maaf? Ia meminta maaf karena tidak cukup baik menjadi suamiku, tidak bisa membimbingku, tidak bisa tegas padaku, tidak pernah memuaskan aku. Dia minta maaf karena tidak bisa membiarkan aku mengundurkan diri dari pernikahan kami, meminta maaf karena membuat aku begitu menderita, meminta maaf karena telah menjadi banci. Aku menangis karena malu dan takut, setiap permintaan maaf Aro mengiris kesalahan-kesalahanku. Membuat aku merasa begitu hina, begitu tidak pantas, memandang wajahnya saja aku tidak sanggup, tetapi dengan egoisnya aku takut dia akhirnya akan memilih untuk meninggalkan aku.

Kami menangis bersama dan untuk pertama kalinya kami berdoa bersama, aku meminta ampun pada Tuhan dan pada suamiku. Aku berjanji akan berubah, aku memohon pada Aro untuk tidak meninggalkan aku.

Aku menulis kisah ini hari ini, 25 Februari 2011 setelah Aro mengingatkan aku jika hari ini tepat satu tahun kami berkenalan. Suamiku sudah membaca tulisan ini dan ia tidak melarangku untuk mempublikasikannya, mungkin hal ini bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Jika Anda membaca tulisan ini, apapun pendapat anda, aku meminta dukungan doa untuk aku dan suamiku karena tidak mudah untuk berubah menjadi pribadi yang baru.

Wallahu a’lam.
Semoga ada hikmahnya.
Cari dan teruslah mencari cinta Ilahi.
Salam ukhwah fillah selalu ^_^

Oleh: Septian Fanny Christmasen

0 komentar:

Posting Komentar